Share Pengalaman Kontekstualisasi GKJW Tunglur melalui Kelas Kreatif dan Kafe
Door
Selama
sepuluh tahun terakhir ini, industri kultural dan kreatif telah menorehkan
dirinya dalam peradaban. The Guardian menyebutkan bahwa Inggris hari ini
berkembang bukan lagi pada bisnis barang konvensional, tetapi terutama karena
industri kultural dan kreatif di sana. Bahkan industri kultural dan kreatif
dianggap sebagai kunci perekonomian Inggris hari ini dan ke depan. Australia
juga mencatatkan hal yang sama, jumlah tenaga kerja dalam industry kultural dan
kreatif melonjak 40 persen lebih tinggi daripada industri lain pada tahun 2017.
Laporan UNESCO pada akhir tahun 2015 mencatatkan hanya 11 industri kultural dan
kreatif telah menghasilkan nominal yang lebih tinggi dari PDB India dari
seluruh kegiatan ekonomi di sana pada tahun 2015 tersebut.
Industri
kultural dan kreatif adalah industri yang berfokus pada inovasi, pemanfaatan
ilmu pengetahuan, dan hanya berbatas pada kreativitas. Sedangkan kreativitas
sendiri bisa dikatakan hampir tak berbatas. Industri kreatif sendiri merentang
mulai dari pertelevisian, media dan telekomunikasi, periklanan, design visual,
fashion, fotografi, arsitektur, hingga game dan film.
Siapa
menduga bahwa fotografi makanan, fashion designer, gambar bangunan hari ini adalah
usaha yang laris manis bahkan menghasilkan angka yang lebih besar dari pada
tenaga kerja kantoran. Bahkan di dunia hari ini, dukungan industri kultural dan
kreatif menyumbangkan PDB lebih besar dari gabungan industri-industri
tradisional, sekaligus menyumbangkan jumlah tenaga kerja yang semakin hari
semakin tinggi. Bisa I bahwa ke depan, industri kultural dan kreatif adalah
kunci bagi peradaban abad-abad ini.
Dunia
hari ini bergerak jauh lebih cepat daripada dunia dalam 30 tahun yang lalu.
Teknologi informasi telah menunjukkan pengaruhnya pada pergerakan dunia.
Melihat hal itu, jika gereja tidak mengambil sikap atas perubahan dinamika
jaman ini, gereja bisa kehilangan keterlibatannya dalam membawa misi damai
sejahteranya bagi dunia. Lebih-lebih jika gereja sekadar berkonsentrasi pada
perihal organisatoris harian, dan agak kurang awas bahwa dunia hari ini sedang
sama sekali berkembang.
Telah
menjadi masalah klasik bahwa banyak pemuda gereja akhirnya meninggalkan
komunitas bergerejanya untuk bekerja di luar daerah. Sehingga yang tinggal di
geraja lebih banyak para sepuh dan anak-anak. Bahkan anak-anak pun mulai banyak
terlibat degan banyaknya aktivitas di luar gereja sehingga menjadikan gereja
tidak menjadi tempat pertumbuhan pertama mereka.
Saya menduga
ke depan, akan semakin banyak pemuda yang meninggalkan daerahnya untuk bekerja
di luar daerahnya. Jika berkata gereja masih akan tetap berjalan di tengah
segala perubahan itu, tentu saja. Namun tren gereja di Dunia Utara (Eropa dan
Amerika Utara) menunjukkan fenomena bahwa seiring waktu bersama dengan semakin
berkembangnya dunia ekonomi, maka gereja pun semakin ditinggalkan. Hari ini
bukan sebuah hal yang sama sekali baru jika telah ditemukan bahwa basis
dinamika gereja telah bergeser dari Utara ke Selatan. Asia dan Afrika telah
menjadi lokus baru perkembangan gereja. Namun dengan semakin tidak terbatasnya
akses pada perihal kultural dan kreatif dalam industri dan dunia ekonomi, bisa
diduga bahwa tren gereja-gereja Utara, jika tidak disikapi dengan tangkas akan
terjadi juga di Selatan.
GKJW dan Program Kepemudaan
Dalam
Rapat Kerja KPPMD Kediri Utara 2 dengan KPPMJ di jemaat-jemaat seluruh MD
Kediri Utara kami menemukan sesuatu menarik. Selama era PPJM I GKJW (2017-2022)
terdapat tujuh arah dalam peminaan pemuda dan mahasiswa, yaitu:
- Penyediaan dan pendaratan bahan pembinaan yang membekali pemuda dalam menghadapi era global
- Pembekalan dalam bentuk pelatihan-pelatihan bagi pemuda untuk berkiprah dalam era global
- Pemantapan Regenarasi Pemuda
- Pembinaan dan pengembangan model pembinaan tenaga pendamping pemuda dan mahasiswa
- Pengembangan Peribadatan Pemuda GKJW
- Peningkatan kualtas dan kuantitas komunitas basis mahasiswa
- Pengembangan sistem pembinaan pemuda dewasa
Poin 1
dan 2 termasuk di dalamnya terkait jiwa kebangsaan dan nasionalisme, hubungan
lintas iman, dan kewirausahaan. Setelah melihat PKT 10 jemaat yang ada di MD
Kediri Utara 2, ternyata PKT jemaat rata-rata masih bergerak dalam pengembangan
peribadatan pemuda. Gereja nampaknya masih semata-mata diidentikkan dengan
sebuah lembaga sosial yang mengurusi perkara rohaniah semata. Sehingga
selainpoin 5, tidak banyak gereja yang memprogramkan poin-poin yang lain dalam
PKT-nya (Program Kegiatan Tahunan). PKT Jemaat sebagian besar berpusat pada
perayaan hari raya gerejawi, kebaktian bernuansa pemuda, dan retreat-retreat.
Saya menduga hal semacam ini tidak hanya terjadi di MD Kediri Utara 2, tetapi
di seluruh GKJW.
Jika
berdiskusi tentang kepemudaan di gereja, masalah seperti kesenjangan antara
gaya berkebaktian generasi muda dengan generasi yang lebih tua kerap masih
menjadi permasalah utama. Hingga hari ini masalah bermusik dengan band dan
berkebaktian dengan nuansa pemuda kerap masih disinggung-singgung sebagai
masalah kepemudaan. Ketidakhadiran dalam kebaktian masih menjadi ukuran utama
keterlibatan seseorang dalam pelayanan gerejawi. Poin-poin selain itu
disinggung sambil lalu tetapi agaknya minim disikapi dengan serius. Berbicara
tentang pemuda, seolah-olah seperti sedang berbicara tentang kebaktian a la
anak muda yang melulu menekankan terus menerus pada kebersamaan. Sisi patunggilan itu begitu kuat, namun
bersama dengan itu nampaknya lalu menjadi agak kurang awas pada
tantangan-tantangan lain, selain persekutuan yang terus berkebaktian
bersama-sama.
Dalam
kegiatan-kegiatan tersebut tentu poin-poin lain juga dicakup, tetapi rata-rata
mengingat bahwa kebaktian dan retreat paling panjang hanya dalam waktu 2 hingga
3 hari, maka poin-poin lain termasuk menyikapi perubahan era global rata-rata
masih berpusat pada pematerian dan pembinaan dengan simulasi, tidak sampai
pelatihan dengan terjun langsung melakukan. Penelitian pada hal ini nampaknya
juga belum cukup beragam.
Mengikuti
Road Service GKJW tahun 2016, saya menangkap gelagat yang serupa. Pertanyaan
para pemuda rata-rata berkisar di seputar sejarah, musik, liturgi kreatif, dan
organisasi di gereja. Perihal seputar hubungan lintas iman, kewirausahaan, dan
hubungan dengan hal-hal di luar gereja masih tergolong kecil. Keberanian untuk
mengatakan bahwa kebaktian sebenarnya sudah selesai sampai tahap tertentu belum
cukup tegas. Kegiatan kebaktian raya dan retreat ke luar kota kerap kali ramai
diikuti dengan antusias, namun kegiatan yang berhubungan dengan hal-hal di luar
pelayanan gerejawi masih minim peminat.
Jika
boleh sementara menyimpulkan, saya mengatakan bahwa perkembangan pembinaan
kepada pemuda dan mahasiswa kita lebih banyak masih berkisar di seputar
panggilan koinonia (persekutuan), dan kita masih kesulitan dalam diakonia
(pelayanan cinta kasih) dan marturia (kesaksian).
Melihat
hal ini, tentu gereja, sebut saja GKJW, perlu mengambil langkah strategis dan
operatif terkait keterbatasan menyikapi situasi perubahan tersebut. Gereja
memang bukan berasal dari dunia, sehingga gereja tidak seharusnya menjadi
seperti dunia. Tetapi agak abai pada siatuasi dunia bisa menjadikan gereja
menjadi ekslusif dan tidak menjejak bumi. Atau dalam bahasa yang lebih biasa
dikenal secara teologis, menjadi tidak kontekstual. Padahal saya menduga
panggilan pertama dalam usaha untuk menjadi berkat adalah usaha untuk
berkonteks pada kehidupan di sekitar.
Perkembangan
Kekristenan di Jawa Timur mencatatkan sejarah menarik terkait ini. Berbeda
dengan Sumatera Utara dan Toraja yang berpola zending datang, mengajar,
membentuk komunitas hingga akhirnya berdiri gereja, di Jawa Timur tidak demikian.
Zending di Jawa sering kali mengalami permasalahan karena orang Jawa sulit
menerima berita Injil. Zending yang dikirim sebelum abad 19 tidak pernah tercatat
membuahkah hasil. Didukung kenyataan bahwa zending dibawa oleh bangsa-bangsa
Eropa yang dikonotasikan sebagai penjajah dan pemeras.
Namun
ketika orang-orang Jawa itu bertemu dengan orang yang bagi mereka mempunyai
kelebihan tertentu, baik itu kesaktian, kekayaan, pengaruh sosial, serta
memberikan keuntungan secara ekonomi; pada saat itulah mereka bisa dengan rela
menerima berita Injil. Demikian tercatat sejarah awal lahirnya gereja-gereja di
pulau Jawa, termasuk GKJW sebagai komunitas awal, dilanjutkan oleh
komunitas-komunitas lain di Jawa Tengah dan Yogyakarta mulai awal 1800an sejak
era Ngoro bersama Coolen. Di Tanah Jawa, Kekeristenan masuk bersama budaya,
bertumbuh bersama lokalitas. Sekalipun misalnya ada J. Emde dari Gereja Protestan
Surabaya yang memerintahkan pengikut Kristen untuk bergaya Eropa, hal tersebut
adalah perkembangan berikutnya setelah mereka sudah dapat menerima Injil Markus
sebagai ilmu sejati. Jellesma, salah satu dominggus zending yang membawa dampak
besar bagi Keksristenan di Jawa pun bertemu dengan masyarakat Jawa dalam budaya
Jawa. Baru tokoh-tokoh berikutnya seperti Kraemer di Malang, Poensen di Kediri,
dan J. Kruyt di Mojowarno yang mulai mengajarkan dogma Kekristenan secara lebih
sistematis muncul dan berkarya serta akhirnya diterima sebagai pola Kekristenan
di masing-masing daerah tersebut. Tetapi titik pertemuan awal Kekristenan
selalu diawali dari langkah kultural, bergerak di wilayah kehidupan lokal dan berangkat
dari semangat lokalitas.
Maka
berbicara mengenai kontekstualisasi hari ini, tentu pembicaraan mengenai nguri-uri budaya tetap hidup. Namun,
mengingat bahwa generasi hari ini mulai berjarak dengan sejarah dirinya,
kontekstualisasi yang cenderung dipahami adalah kontekstualisasi abad 21 dengan
sosial media, dunia kerja, dan budaya populer. Dengan itu, melihat perjalanan
sejarah sekaligus karakteristik masyarakat Jawa pada umumnya, Gereja perlu
melakukan pendekatan dalam konteks zaman yang dimengerti oleh masyarakat abad
21 ini. Jika tidak penolakan seperti yang terjadi sebelum abad 19 bisa saja
terjadi. Fenomena demikian misalnya mulai muncul dengan ketertarikan generasi
muda hari ini lebih pada sosial media, dunia kerja,dan populer, ketimbang pada
kehidupan pelayanan gerejawi yang agaknya terjadi hampir di segala tempat.
Maka
saya berani mengatakan bahwa program kepemudaan gereja, jika ingin benar-benar
berdampak bagi kehidupan (di samping upaya untuk nguri-uri budaya adi luhung
masa lalu) adalah dengan mendekati konteks abad 21 tetapi tetap mengikatkannya
pada kehidupan gerejawi. Dan saya tidak mengatakan ini mudah, mengingat bahwa
konteks abad 21 kerap dipertentangkan dengan nilai-nilai luhur budaya yang
telah dihidupi pada masa-masa sebelum era industri. Sosial media dan teknologi
pada umumnya dianggap menjadi tantangan bagi intimitas personal, dunia kerja
sering diperbandingkan dengan Matius 6:33, budaya populer sering
dipertentangkan dengan budaya adi luhung lokal. Namun dalam tulisan ini saya
semata-mata ingin berbicara mengenai satu hal saja, kewirausahaan, khususnya
industri kultural dan kreatif.
Pendekatan Kultural Kewirausahaan
Jika
boleh sedikit mengkritik kebanyakan program gereja, kritik utama saya berangkat
dari kenyataan bahwa hari ini gereja mencurahkan tenaga, sumber daya, dan
dananya pada kegiatan yang melulu bersifat peribadahan. Benar bahwa peribadahan
harus selesai dahulu, karena itu titik awal sekaligus identitas Kekristenan,
namun jika energi semata-mata dicurahkan ke sana hingga agak mengesampingkan
kebutuhan kontekstual, maka ada dua hal utama yang bisa saja terjadi:
- Kehidupan peribadahan menjadi semakin berjarak dengan kehidupan sehari-hari. Peribadahan lalu menjadi sarana tamasya iman untuk wayout dari beban kehidupan sehari-hari. Acara-acara peribadahan mulai dari kebaktian raya hingga retreat-retreat menjadi ramai diikuti, tetapi lebih sebagai upaya memuaskan konsumerisme rohani, berupa kebutuhan bermusik yang baik, khotbah yang menyenangkan (biasanya yang lucu atau yang mengaduk-aduk perasaan), liturgi yang harus sesuai dengan liturgi baku selain itu akan dianggap ‘menyimpang’, dan firman Tuhan yang memberikan makanan bagi jiwa yang terus menerus lapar.
- Gereja tidak lagi mempunyai cukup energi untuk memulai bahkan memikirkan kebutuhan paling dekat dengan kehidupan sehari-hari. Bisa jadi malah gereja malah akhirnya sama sekali menolak dan resisten, atau malah sama sekali kompromis dengan kehidupan sehari-hari seperti masalah politik dan ekonomi. Menjadi sama sekali memisahkah diri dari dunia (dalam hal kewirausahaan dunia kerja dan sekuler) atau malah menerjunkan dirinya ke sana tanpa batasan nilai, selain semata-mata untuk diterima.
Melihat
kenyataan demikian, gereja, menurut saya, harus berani mulai membelokkan
kemudianya tanpa kehilangan kemudi tersebut. Saya di awal mengatakan ini tidak
akan mudah, karena nilai pembelokan kemudi ini akan dianggap bertentangan
dengan nilai-nilai yang selama ini dihidupi. Namun, jika ingin berita Injil
tidak menjadi berita kadaluwarsa atau hanya senang dikunjungi di museum oleh
para peziarah, gereja perlu memikirkan hal ini dengan sungguh-sungguh.
Masalah
dana dan sumber daya kerap menjadi masalah utama, karena keduanya telah
dihabiskan untuk kebutuhan harian rapat dan pelayanan-pelayanan ‘rohani’ gereja
serta untuk pembangunan fisik kebutuhan rapat dan peribadahan. Keberanian awal
untuk melakukan pendekatan kultural gereja dalam hal kewirausahaan bisa
dilakukan dengan setidaknya dua cara:
- Jika kebutuhan rapat dan peribadahan memungkinkan untuk dikurangi, maka sebisa mungkin dikurangi dialihkan pada perogram-program berorientasi kewirausahan. Hal ini termasuk untuk kebutuhan-kebutuhan koinonia yang memakan kebutuhan dana yang besar. Ini tantangan tersendiri dalam gereja yang kehidupan organisatorisnya sudah sangat terstruktur. Ini membutuhkan pemrograman budgeting yang saksama. Jika sumbernya memang hanya itu, kita tidak bisa membayangkan akan ada daya supernatural yang menambah begitu rupa pendanaan gereja, yang bisa kita lakukan adalah mengelolanya dengan baik.
- Penggalian dana malalui donatur. Namun cara ini bagi saya merupakan langkah yang lebih baik ditempuh sebagai langkah lanjutan, setelah gereja berupaya melakukan langkah pertama. Di GKJW sendiri yang hari ini memiliki tema kerja Mandiri dan Menjadi Berkat, kemandirian termasuk dalam hal pendanaan tetap perlu diutamakan. Hal ini lebih terkait dengan etos. Karena mengutamakan donasi (khususnya dari luar) ketimbang kerelaan untuk memberikan lebih bagi kehidupan komunitas sendiri akan menjadi masalah lain. Etos dan gaya hidup meminta bisa tumbuh jika cara kedua ini ditempuh pertama sebelum melakukan cara pertama tadi. Namun cara ini menjadi perlu dilakukan ketika gereja memang sudah dalam tahap optimal rasional, artinya bahwa kapasitas jemaat sudah mentok sampai di sana. Ketika sudah tidak dimungkinkan lagi sumber dari dalam, sumber dari luar bisa menjadi pertimbangan.
Persiapan
untuk hal ini memang tidak sederhana. Tetapi saya menduga bahwa kuncinya adalah
pada teologi yang benar. Di era abad 21 ini, warga tidak lagi hanya belajar teologi
dari gereja sebagai sumber utama. Berbeda dengan abad pertengahan ketika
teologi menjadi queen of science,
hari ini kenyataannya berbeda. Teologi tidak lagi menjadi primadona, bergeser
pada ilmu-ilmu yang berkaitan dengan kehidupan praktis, baik di bidang ilmu
pengetahuan, politik, hukum, sosial, maupun ekonomi. Di sisi lain warga gereja
hari ini bisa belajar teologi dari berbagai sumber. Belum ada penelitian yang
cukup reliabel, tetapi saya menduga bahwa khotbah tidak lagi menjadi sarana
utama pertumbuhan teologi, rasanya keteladanan personal lebih mengemuka. Di
samping itu, dengan budaya www (whatever, wherever, whenever) sumber yang bisa
diakses kapan dan dimana pun seperti internet pada masa ini, menjadi memiliki
peran lebih besar bagi pertumbuhan iman. Saya tidak mengatakan www berlaku bagi
semua kelompok di gereja, tetapi bagi para pemuda budaya www rasanya memegang
peranan penting.
Maka
mimbar di gereja perlu dipertimbangkan untuk digeser ke mimbar yag bisa diakses
di mana pun dan kapan pun. Di GKJW Tunglur misalnya hal ini dilakukan dengan
kegiatan 15 menitan dengan panduan Buku Kecil yang diterbitkan mingguan di
Jemaat oleh kesekretariatan jemaat, upaya untuk menjadikan mimbar pertumbuhan
rohani bukan lagi semata-mata di gereja, tetapi utamanya di keluarga. Bagi saya
pribadi, ini langkah teologis yang penting. Intinya adalah masalah teologi yang
benar harus dimiliki terlebih dahulu. Jika ditanya mengenai teologi yang benar,
maka bagi saya hal itu adalah demikian: Kita telah dikuduskan oleh Kristus,
maka hidup kita adalah upaya untuk bersyukur atas itu. Upaya bersyukur itu
dilakukan dengan menjaga anugerah pengudusan dari dosa ini. Orang Kristen yang
telah dikuduskan mengasihi orang lain, mereka berbuat jujur, mereka rela
melepaskan miliknya untuk karya Tuhan yang lebih besar dan baik, mereka rendah
hati, mereka tidak rakus pada kekuasaan dan kehidupan ekonomi, mereka
berkomitmen menjaga militansi pada Kekristenan, mereka memiliki pengharapan
sorgawi, dan hal-hal demikian.
Ketika
masalah teologi ini sudah selesai. Maka masalah-masalah yang lain akan
mengikuti termasuk kesediaan mereka tetap menjaga nilai Kristen dalam dunia
kerja dan berkonteks abad 21. Sebelum seseorang masuk dalam dunia pemuda dan
keluar dari rumah, mereka mengalami masa anak-anak dan remaja bersama keluarga.
Pada saat inilah nilai-nilai Kekristenan perlu sampai tahap tertentu selesai.
Berikutnya
mengenai kewirausahaan sendiri. Gereja perlu menyadari posisinya. Gereka bisa
jadi tidak perlu menjadi tempat berwirausaha secara praktis, gereja adalah
wadah untuk latihan dan syukur-syukur bisa menyediakan sarana serta jaringan
untuk kewirausahaan tersebut. Gereja tidak perlu menjadi pusat kegiatan
wirausaha, tetapi perlu menjadi semacam BLK (Balai Lakihan Kerja) untuk
kewirausahaan dengan menanamkan nilai Kekristenan pada dunia usaha dan kerja
yang didampingi dalam pelatihannya.
Untuk itu
gereja tidak cukup hanya membina melalaui seminar-seminar, tetapi mengajak
untuk terjun langsung dalam dunia wirausaha. Di sinilah gereja perlu
menyediakan fasilitas baik berupa prasarana dan sarana maupun program. Jika
untuk perlu ruangan khusus, bangunlah. Jika perlu tenaga pelatih dan kebetulan
jemaat tidak memilikinya, datangkahlah. Jika perlu pendampingan berkelanjutan,
dampingilah. Kegiatan latihan kewirausahaan gereja tidak cukup hanya berupa
simulasi sekali pertemuan, tetapi perlu untuk langsung berhubungan dengan pasar.
Orang sering
berpikir bahwa latihan kewirausahaan yang dilakukan gereja menyasar pada
kecukupan masalah dana atau setidaknya mendukung pendanaan gereja. Syukur jika
dari kegiatan wirausaha ini akhrinya bisa menuju ke sana, jika ternyata belum
bisa sampai ke sana, kegiatan latihan wirausaha ini setidaknya bisa mendanai
kegiatannya sendiri dahulu. Artinya orientasinya bukan terutama pada profit
tetapi pada latihan kewirausahaannya. Pada saatnya gereja mungkin harus
melepaskan para pemuda yang dibina dalam program ini ke dunia pasar atas diri
mereka sendiri. Mereka mungkin membuka usaha sendiri atau bekerja di tempat
lain, tidak masalah, karena memang orientasinya bukan pertama-tama pada dana,
tetapi menyiapkan mereka masuk dalam era global. Jika lalu program latihan kewirausahaan
itu lantas bisa memiliki entrepreneur yang memag berkomitmen untuk pendanaan
gereja, itu adalah bonusnya saja. Hal inilah yang penting dipegang sebagai
kunci latihan kewirausahaan.
Di GKJW
Jemaat Tunglur, misalnya dengan Kafe Door, kami melakukan hal ini. Gereja
menyediakan sarana berupa bangunan fisik, para pemuda lantas melakukan aktivitas
latihan wirausaha di sana. Secara keuntungan finansial sebenarnya kafe ini
tidak besar, tapi keuntungan kafe tersebut sudah bisa mencukupi kebutuhan kafe,
bahkan untuk mendukung program-program kepemudaan di jemaat. Telah ada
pemuda-pemuda yang lantas tidak lagi di Kafe Door karena mereka telah bekerja
di tempat lain. Tetapi sebelum mereka terjun ke dunia kerja, mereka telah
mengenal bagaimana kulakan, bagaimana bertemu dengan pelanggan, bagaimana
berpromosi, bagaiman menyajikan sesuatu dengan baik, bagaimana menentukan harga
barang, bagaimana membaca selera pasar lokal, bagaimana menghadapi stress dalam
pekerjaan, bagaimana menghadapi keuntungan dan kerugian, dan terutama bagaimana
tetap menjaga nilai Kristen dalam wirausaha yang mereka lakukan.
Modal
untuk membangun Kafe Door tidak besar. Kami memulainya dengan hanya Rp
5.000.000,- termasuk untuk pembangunan fisik dan penyediaan barang awal. Dari
keuntungan kafe, kami mulai menambah kebutuhan-kebutuhan yang lain terus menerus.
Sehingga jika masalah dana menjadi masalah yang dianggap sulit dipecahkan,
sebenarnya tidak juga.
Di
jemaat Tunglur kami juga mengembangkan Kelas Kreatif untuk anak dan remaja.
Kelas Kreatif ini berpusat untuk melatih anak-anak membuat kreativitas, mulai
dari kerajinan tangan, memasak, membersihkan lingkungan gereja, menjaga
kesehatan, berbagi, hingga beberapa kali membazarkan hasilnya dengan
pendampingan pamong anak dan remaja sebagai latihan awal bagi anak dan remaja
berlatih wirausaha. Dana untuk Kelas Kreatif kami tidak besar, karena jumlah
anak dan remaja kami tidak besar. Setiap tahun kami menganggarkan Rp 600.000,-
dan itu cukup untuk kelas kreatif bagi 12 anak dan remaja selama satu tahun.
Karena hasil dari bazar kelas kreatif bisa dikembangkan untuk penyediaan bahan
bagi kebutuhan kelas kreatif berikutnya. Di samping bahwa Kelas Kreatif juga
menggunakan barang-barang yang tidak terpakai atau bahkan barang sisa pakai
rumah tangga.
Manajemen Risiko
Salah
satu yang kerap agak dikesampingkan dalam perogram kewirausahaan adalah
manajemen risiko. Dua kutub yang seringkali bertentangan dan terjadi di gereja
adalah terlalu takut berisiko atau terlalu berani berisiko hingga tidak
mempertimbangakan SWOT (Kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman). Untuk hal
ini saya tidak akan menyinggung banyak. Tetapi hanya beberapa hal penting yang
perlu dilakukan dalam manajemen risiko:
- Analisis SWOT. Banyak pola dari analisis SWOT yang bisa dilakukan, gunakan yang mungkin dilakukan di gereja. Tidak perlu yang sangat rumit, lakukan yang sederhana, tetapi benar-benar mempertimbangkan keempat aspek tersebut secara jujur. Analisis SWOT tidak bisa dibuat-buat, karena hasilnya juga akan tidak akurat. Analisis SWOT ini berguna untuk mengukur seberapa besar investasi gereja untuk kegiatan wirausaha dan sejauh apa risiko akhirnya bisa dihadapi. Pihak-pihak mana saja yang bisa dilibatkan dalam penanganan risiko baik pencegahannya maupun penanggulangannya.
- Pendampingan intensif. Hal-hal yang berhubungan dengan uang dan relasi dengan orang lain kerap menimbulakn konflik dan risiko perpecahan. Kedua hal tersebut kerap mendatangakan budaya ketidakpercayaan (krisis kepercayaan). Maka pendampingan intensif berguna selain untuk dalam bahasa program memonitor, juga berguna untuk kebutuhan utama penggembalaan. Pendampingan intensif ini adalah upaya untuk tetap bertahan di dalam nilai Kristiani baik dalam komitmen maupun dalam menghadapi berbagai tantangan di sekitar dunia wirausaha. Bagaimana mengelola emosi pribadi dan psikologi dalam untung ataupun rugi, serta ritme dunia wirausaha dengan segala dinamikanya adalah hal-hal penting dalam pendampingan ini. Perlu orang khusus yang memang memiliki perhatian pada kepemudaan dan kewirausahaan. Prinsipnya adalah memotivasi, sehingga pikiran, ucapan, atau perbuatan yang bisa mendemotivasi latihan kewirausahaan perlu untuk dijaga supaya jangan sampai mengemuka.
- Pengawasan keuangan dan pelaporan keuangan. Di GKJW Jemaat Tunglur, semua keuangan diperiksa dan dilaporkan. Baik keuangan di bendahara jemaat, komisi-komisi, pokja-pokja maupun kepanitiaan. Termasuk dalam kewirausahaan pengawasan dan pemeriksaan keuangan ini terus perlu dilakukan dengan kaidah-kaidah pengawasan keuangan dan pelaporan keuangan yang berlaku. Tidak perlu yang terlalu rumit, dilakukan sesuai dengan konteks kehidupan berjemaat dan bermasyarakat di sana. Jika latihan kewirausahaan ini tidak besar, tidak perlu hingga membuat dan memeriksa berbagai jenis neraca.
- Penyisihan hasil untuk pengembangan jangka panjang. Di Kafe Door dan Kelas Kreatif setiap bulan para pemuda yang berlatih wirausaha dan pamong pendamping P2A menyisihkan pendanaan mereka untuk pengembangan kafe maupun kelas. Karena angkanya belum besar, maka kami belum menyimpannya di bank. Tetapi harapannya kami pada akhirnya bisa memasukkan dana ini di bank atau koperasi untuk sekaligus melatih para pemuda terkait kehidupan perbankan dan perkoperasian. Tetapi penyisihan dana ini perlu dilakukan supaya kegiatan bisa terus berkelanjutan. Dana tersebut juga dibutuhkan jika terjadi kebutuhan sewaktu-waktu yang tidak diduga.
Beberapa Produk Kelas Kreatif GKJW Tunglur yang siap dipasarkan. |
Saya
merasa kontekstualisasi tidak sekadar melulu pada masalah nguri-uri budaya
lokal adi luhung. Hal tersebut tentu saja salah satu hal penting yang perlu
terus dilakukan oleh gereja. Tetapi kontekstualisasi adalah upaya untuk
mendekatkan gereja dengan konteks masyarakat sehingga berita Injil bisa
diterima dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari warga jemaat. Syukur jika
bahkan bisa mencapai pihak di luar gereja. Tetapi saya selalu merasa yang di
dalam perlu selesai dahulu sebelum menyelesaikan yang di luar. Karena selesai
di dalam adalah bagian dari menyelesaikan yang di luar.
Selain
tantagan wirausaha, Indonesia punya hal-hal lain seperti pluralitas SARA,
kehidupan khas negara dunia ketiga dengan kependudukan yang khas, pendidikan
dan mitos, serta kehidupan ekonominya yang khas, di samping juga menjadi pasar
barang bagi negara-negara Asia Timur, Eropa, dan Amerika. Saya merasa tantangan
konteksualisasi gereja agar berita Injil bisa terdengar oleh dunia neliputi
hal-hal tersebut juga. Menjadikan berita Injil didengar oleh orang lain bukan
semata-mata usaha menjadikan orang lain menjadi Kristen, bukan juga sekadar
cangkrukan lalu berita Injil dibagikan di sana. Tetapi, lebih dari itu
melakukan upaya untuk benar-benar mengelola potensi gereja untuk karya Tuhan
bagi dunia, hingga dunia menjadi penuh kasih dan damai sejahtera. Jalan ini
panjang, tapi tidak ada kebetulan, tidak ada juga yang mustahil, apalgi jika
dilakukan dengan semangat dan komitmen dalam terang kasih Tuhan.
Gideon
H. Buono
Pendeta
GKJW, melayani di GKJW Jemaat Tunglur
COMMENTS