Berapa lama lagi, TUHAN, Kaulupakan aku terus-menerus? Berapa lama lagi Kausembunyikan wajah-Mu terhadap aku? Berapa lama lagi aku harus menaruh kekuatiran dalam diriku, dan bersedih hati sepanjang hari? Berapa lama lagi musuhku meninggikan diri atasku?
Pandanglah kiranya, jawablah aku, ya TUHAN, Allahku! Buatlah mataku bercahaya, supaya jangan aku tertidur dan mati, supaya musuhku jangan berkata: "Aku telah mengalahkan dia," dan lawan-lawanku bersorak-sorak, apabila aku goyah. Tetapi aku, kepada kasih setia-Mu aku percaya, hatiku bersorak-sorak karena penyelamatan-Mu. Aku mau menyanyi untuk TUHAN, karena Ia telah berbuat baik kepadaku.
Mzm 13
Larut. Deretan bantal merah yang terbentang di kursi krem bebungaan itu mendayukan nyanyian lelap. Dan benar, sebagian besar orang telah memilih untuk beristirahat dalam tumpukan selimut tebal. Atau memeluk orang tersayang, bersiap besok bangun dan bergegas ke gereja. Tunglur malam ini dingin. Hujan sudah membuat selokan air meluap kecoklatan. Berkat bagi para petani yang menunggu air. Namun empat pasang mata itu masih tak hendak terpejam. Mereka masih mempersiapkan bazar yang besok akan mereka lakukan di Nganjuk. Para pemuda yang tak menyerah dengan lelah, tak menyerah juga dengan 'aku mau apa'. Tapi memilih untuk 'aku harus melakukan ini'.
Nganjuk tertulis di hati. Besok para pemuda Tunglur akan bazar di sana menjajakan versi revisi dari penganan ringan dan beverage yang selama ini mereka dagangkan. Ada tiga item: SusuMu, Sosage, dan BidjiCinta. Ketiganya telah diperbaiki rasa dan penyajiannya. Mereka siap bertarung dengan peruntungan dan kebaikan. Oh ya, keempatnya bernama Edvin, Bima, Nanda, dan Debora.
Sejenak yang lalu mereka sempat merasa kelelahan. Bagaimana tidak, teman-teman yang diundang datang bergabung dan membantu ternyata lebih memilih kisah mereka masing-masing. Dan tinggal berempat itu yang sudah hampir menyerah. Entah apakah kisah semangat itu harus diteruskan, atau harus patah arang. Karena tahapan pertama naik kelas memang tidak yang lain, tetapi merasa sendirian. Di mana yang lain, mengapa semua sepi?
Tak pantaskah mereka mengeluh? Pantas! Tak bolehkah mereka kecewa? Boleh. Namun sejatinya 'berjuang sendiri', ujian naik kelas pertama itu, hanya nampaknya saja pertarungan melawan mereka, tapi tidak, berjuang sendiri sebenarnya adalah pertarungan melawan aku. Aku yang perkasa. Aku yang telah melakukan semuanya. Ada dua jenis kegagalan dalam ujian demikian: patah atau terus berjalan tetapi pahit. Dan keduanya sejatinya adalah pintu kematian. Keduanya membunuh. Pernahkah engkau merasa berjuang sendiri? Jika iya kau tau yang kumaksudkan. Jika ada musuh yang sesungguhnya bukan yang lain, tapi aku yang perkasa itu.
Bagaimana cara naik kelas jika sudah demikian? Benar! Rekan. Itulah jawabannya. Mau merasa bahwa mereka punya rekan. Siapakah lantas rekan itu? Iya, rekan mereka adalah satu sama lain. Sejatinya tidak pernah ada yang sendirian. Dan diam-diam sosok-sosok lain itu datang bermunculan: Bu Karni, Bu Heining, Bu Ifa, Bu Esti, Bu Nina, dan berikutnya datang satu lagi, Andik. Sejatinya Pak Tua itu tidak pernah meninggalkan seseorang dalam perjalanan ini sendirian. Hanya saja, kita mau melihat mereka yang diutus Pak Tua menemani dalam sepi itu, atau kita mau melihat kelelahan kita. Jika kita memilih melihat kelelahan kita, maka kita bisa jatuh begitu rupa pada patah. Jika kita melihat mereka namun juga melirik sedikit pada kelelahan kita, kita masih bisa jatuh pada terus berjalan dan menjadi pahit. Namun jika kita melihat mereka dan melihat bayang-bayang Pak Tua itu di belakang mereka, lalu tersenyum dan melangkah tanpa kepahitan, kembali menumpuk harapan dan semangat. Maka kita bisa naik kelas. Karena Pak Tua it sebenarnya hadir dalam sepi. Dia tidak hadir dalam riuh. Riuh kadang mengacau, tapi sepi itu menjernihkan.
Namun, lalu pada saat yang sama kita melihat mereka yang sempat membiarkan kita sepi, kecewa, atau merasa sendiri. Setelah tahu bahwa musuh sesunggunya adalah aku yang perkasa, maka kita lalu melihat mereka bukan sebagai lawan, atau orang yang tak bisa diajak berekanan. Mereka tetap kawan. Mereka tak pernah musuh. Lalu kita menjadi ingat ketika dalam perjalananNya Yesus mengatakan, "Ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." Atau ingatkah pada kisah Yesus di Getsemani, ketika para murid yang dimintanya menemani memilih tidur karena mereka tak kuat menahan kantuk. Yesus datang hingga beberapa kali, membangunkan mereka. Namun lebih dari itu Yesus mengerti bahwa para murid sedang tak tahu saja bahaya yang sedang datang. Namun toh pada akhirnya Dia pun mengatakan setelah doaNya yang ketiga, "Baiklah, jika hendak tidur, tidurlah, aku sudah selesai berdoa."
Bukan! Bukan karena mereka salah, tapi karena lebih dari kecewa kita sebenarnya kita punya mimpi bersama, dan mereka ada di sana. Mereka bukan di bagian yang kita benci atau menjadikan pahit. Namun mereka adalah bagian yang kita kasihi lebih lagi, dan semstinya begitu. Karena jika pun ada keliru, mereka hanya sedang tidak tahu. Maka tidak ada kekecewaan. Yang ada adalah senyum, "Ternyata ini to naik kelas itu."
Dengan demikian, kita tidak akan meninggalkan mereka, tapi justru datang dan merangkul mereka, siap sekali lagi untuk diterima atau ditolak. Tidak seharusnya orang yang tidak tahu lantas dihukum atau dibenci, orang yang tidak tahu perlu dikasihi, agar mereka tahu betapa berharganya kasih dan kehadiran. Betapa berharganya ketika seorang kawan mengatakan, "Bantulah, aku tak bisa sendirian. Aku membutuhkanmu. Kehadiranmu berarti bagiku. Jadilah kawanku berjalan, berjalan sendirian itu melelahkan. Jika kau di sini, lelah pun tak masalah. Ada kita. Aku mengasihimu."
Ini jalan hati. Jalan ini bukan jalan paksaan. Tidak ada yang memaksamu memanggul salib, apalagi salib yang keliru. Jika memang merasa tidak kuat karena merasa sendiri, berhentilah dan mengambil waktu sejenak berehat. Namun jika sudah melihat bayang-bayang Pak Tua itu lagi (Dia yang selalu tersenyum dan jenaka) maka kembalilah berjalan dengan ringan. Itulah saatnya melepaskan, melepaskan aku yang perkasa. Dan mengatakan, "Angger kinanthi Gusti, sampun cekap sedayanipun." Maka jalan hati itu tidak lain adalah jalan kehidupan, bukan jalan kematian. "Segala sesuatu nyatanya dapat kutanggung dalam Dia yang menolong aku." Ya, Dia, yang selalu membisikkan dalam sepi, "Kasihilah, angkatlah tilammu, dan berjalanlah. Aku di sini."
Dan saya termasuk yang bersyukur, bahwa keempat orang itu, lima bersama Andik (lima sudah genap), tidak memilih jalan kematian. Mereka memilih kehidupan, Bazar di Nganjuk bukan bazar kutukan, tetapi bazar berkat. Bazar naik kelas. Lalu dari jauh saya mendengar mereka mulai tertawa dan bercanda lagi. Nampaknya mereka naik kelas. Mereka telah mengalahkan sang musuh, aku yang perkasa itu. Semoga, ah saya sih yakin.
PS: Tahukah engkau, kadang hal yang paling buruk sekalipun, sebenarnya tak seburuk itu.
BidjiCinta | coklat hangat. |
Sosage | sosis agak gedhe |
SusuMu | susu aneka rasa |
COMMENTS