… DAN JANGANLAH MEMBAWA KAMI KE DALAM PENCOBAAN TETAPI LEPASKAHLAH KAMI DARIPADA YANG JAHAT …
Pertanyaan dogmatis klasik tentang bagian ini selalu tentang pertentangannya dengan Yakobus 1:13 bahwa Tuhan tidak mencobai manusia. Pertentangan teologi Paulus dan Yakobus selalu menjadi ajang diskursus teologis yang tidak pernah habis. Ada yang mencoba menjembataninya, namun ada yang berani berkata tegas seperti Luther dengan menyebut Yakobus sebagai surat jerami. Semuanya berkait dengan posisi Yesus sebagai Kristus (Kristologi). Paulus secara tegas menyatakan bahwa Yesus sang Kristus itu telah menjadi jalan pendamaian, maka paska pendamaian, yang ada bukanlah upaya meraih keselamatan, karena keselamatan itu hasil dari pendamaian. Apa yang terjadi paska pendamaian itu adalah tanggung jawab atas pendamaian, di sanalah nilai kebaikan moral. Maka apa yang dibutuhkan, semata-mata iman. Sedangkan Yakobus dengan tajam menyatakan bahwa iman tanpa perbuatan adalah sia-sia. Maka perbuatan moral bernilai, perbuatan moral inilah bukti nyata paling harafiah dari iman. Mana yang benar? Entahlah. Secara praktika keduanya tidak bertentangan, secara sistematikalah permasalahan teologis itu bergema.
Kali ini adalah tentang pencobaan. Apakah pencobaan berasal dari Tuhan atau dari manusia itu sendiri? Yakobus tegas manusia. Namun nampaknya Doa Bapa Kami dan lagi-lagi Paulus (1 Kor 10:13) menyatakan dari Tuhan. Gema peristiwa Getsemani, pengurbanan Ishak, dan Ayub seolah-olah mendukung Paulus sang ahli taurat itu. Namun untuk melembutkan konotasi, seringkali ungkapan menguji digunakan sebagai jalan tengah yang mendamaikan. Toh nyatanya pengurbanan Ishak dan Ayub bisa dilihat dalam konotasi demikian. Yang terjadi bukanlah Tuhan mencobai namun menguji.
Sebenarnya pendekatan literer dengan melihat kata pencobaan dalam Bahasa Yunani (peirasmon - πειρασμόν) bisa menjadi pendekatan untuk melihat perihal ini. Kata peirasmon bisa berarti test, trial (ujian) namun memang juga berarti temptation, enticement to sin (pencobaan, menarik seseorang pada dosa). Maka kemenduaan makna memang nyatanya tidak ternafikan. Keduanya ada di sana. Lalu bagaimana? Ya sudah. Saya melihatnya mungkin ingin dikatakan oleh kata itu (baik secara langue ataupun parole) lebih baik melihatnya bukan pada siapa yang menyebabkan, tapi pada peristiwa itu. Siapa yang menyebabkan sampai batas tertentu tidak lagi relevan ketika manusia sudah terlibat. Titik tekannya kemudian adalah pada bagaimana manusia itu menanggapi pencobaan.
Demikianlah permasalahan teodise bisa selesai atau tidak selesai pada dirinya sendiri. Dengan pendekatan pada Allah, tidak selesai, namun dengan pendekatan pada manusia, bisa jadi selesai.
Sampai di titik inilah orang beriman harus menyatakan dalam iman tidak ada yang absolut. Tuhan pun dipertanyakan eksistensinya kok. Menyatakan demikian bukan mengatakan maka jadilah relativis, itu reduksionis namanya, namun ya sudah. Kelengkapan sense-reason-thinking (inderawi – akal budi - pikiran) dan feeling (perasaan) pada manusia memang mengatakan keduanya rectoverso, dua sisi mata uang yang sama. Yang satu tidak akan bisa berada tanpa yang lain, yang satu hilang, maka tidak genaplah. Paradoks. Dan demikianlah imam dan spiritual memang tidak pernah berdiri hanya dengan satu kaki, atau timpang. Iman adalah padu padan dengan upaya penggalian makna. Pietisme selalu bersisihan dengan Rasionalisme, Kegelapan Abad Pertengahan dan Kecerahan Aufklarung adalah kisah cinta tersendiri.
Maka jika melihat dari pendekatan dari sisi manusia, bagaimana melihat frase Doa Bapa Kami ini? Tidak ada yang ingin diuji, tidak ada yang ingin dicobai. Tidak ada yang ingin sakit, tidak ada yang ingin kehilangan, tidak ada yang ingin menderita. Maka jika mungkin, dimohon kiranya Tuhan tidak membawa orang pada masa-masa sulit itu. Masa sulit itu meruntuhkan. Masa sulit itu dilematis. Kalutnya Abraham akan pemenuhan perjanjian bersarana generasi yang sustainable, berpasal-pasal Kitab Ayub yang menceritakan dialog dengan bahasa super puitis antara Ayub – para sahabat – Elihu – Tuhan Allah, deret rima dalam Ratapan, dan tetes keringat serupa darah di Getsemani menunjukkan bahwa ancaman kematian adalah pencobaan paling ganas. Di sisi lain, pencobaan paling bermakna. Elegi dan Eulogi adalah tangisan paling menyayat. Membawa orang pada ambang batas kehidupan-kematian adalah ketakutan paling besar. Maka bisa dimengerti ungkapan, “Saya siap mati untuk Kristus, tapi jangan sekarang.” “Sekiranya boleh ya Bapa, ambillah cawan ini daripadaku.” “Ambillah duri dalam daging ini.”
Ada yang jatuh dan benar-benar mati tanpa makna. Menyerah. Ada yang terus bertahan dengan setia dalam ruang liminal, ambang batas ini. Demikianlah nampaknya ungakpan “Lepaskanlah kami daripada yang jahat” berbunyi. Orientasi sebuah jalan iman tidak pernah pada sorga, tapi pada kehidupan di bumi. Pusat perjalanan sang musafir bukanlah pada tujuan, tapi pada proses perjalanan itu sendiri. Nilai terbesar bukanlah sorga, tapi kesetiaan. Tuhan pun menyatakan kepada Iblis dalam Ayub untuk tidak mencabut nyawanya. Bahkan jika nyawa-roh itu harus diserahkan dengan menundukkan kepala dalam pernyataan “Sudah selesai!” adalah demi “bukan kehendakku yang jadi, tapi kehendakMu.” Jika pun menderita mohon jangan sampai membuatku berdosa dan mati (upah dosa adalah maut), jika pun mati kiranya bukan ruh itu yang mati, kematian wadak tak mengapa. Hidup adalah Kristus, mati adalah keuntungan. Mengasihi adalah menggenggam, namun juga melepas. Mengasihi adalah rela.
Rekan. Teman perjalanan sejati tidak melihat aksi, tetapi percaya. Di Jawa ada ungkapan “Aja rumangsa bisa, tapi bisaa rumangsa.” Lihatlah sejarah bersama Tuhan selama ini, apakah nyatanya dia benar-benar pernah meninggalkan, hingga pada suatu saat kita kehilangan keyakinan kepadaNya? Ini adalah sebuah persahabatan yang tidak transaksional, kalau engkau baik aku akan baik, tapi engkau kawanku selama ini selalu begitu, maka jika hari ini kau tidak begitu, kau sedang bermaksud tertentu. Ketika engkau nampaknya berubah jahat, tak sesui biasanya, bukan karena kau meninggalkanku sendiri dan membenciku, tapi aku percaya karena kau sedang dalam sebuah cerita yang kali ini aku belum melihatnya secara utuh. Percaya utuh. Persahabatan yang hingga merelakan diri mati bagi sahabatnya. Rekanan demikianlah yang diharapkan ada ketika manusia tidak bisa mencintai secara agape, bisalah mencintai secara filia dalam kisah pengutusan Petrus dalam perjumpaan pengutusannya dengan Yesus. “Apakah engkau mengasihi aku?” Jalan rumangsa. Andaikata setiap persahabatan antar manusia, bahkan manusia-semesta terjadi semacam ini, maka tidak ada lagi kekecewaan. Yang ada adalah, “Bagaimana pun engkau, apa pun yang terjadi, aku bersamamu.”
Maka mari lihat gradasi ketiga permohonan dalam Doa Bapa Kami. Makanan menuju pemaafan menuju pada pencobaan (kepercayaan). Dari yang fisik menuju moral menuju yang paling spiritual. Jenjang jalan mulia. Iman mencakup ketiganya dengan mengalir, pada saat yang sama sangat sederhana dan begitu akrab. Tranasfirmasi yang tak harus mematah, namun evolutif. Jalan jasmani itu tak pernah terpisah dari jalan moral dan jalan ruhani. Ketiganya adalah satu keutuhan sempurna. Maka berlebihankan menyebut Doa Bapa Kami sebagai doa yang sempurna? Dugaan saya tidak.
COMMENTS