Pada Hari Jumat, 24 Maret 2017, KPK (Komisi Pembinaan Kesaksian) GKJW Jemaat Tunglur bertemu dengan Yayasan dan Kepala Sekolah YBPK Pare. Pertemuan tersebut merupakan pertemuan awal untuk hubungan kerja sama GKJW Tunglur dengan YBPK (Yayasan Badan Pendidikan Kristen) Pare terkait penggunaan lahan bekas SD YBPK Tunglur supaya bisa kembali pada fungsinya yaitu pendidikan.
Sama seperti banyak daerah Kristen awal di Jawa Timur, Jemaat Tunglur yang mulai melayani sejak tahun 1889 memiliki kekhasan, yaitu pembangunan lembaga pendidikan melengkapi karya pelayanan gereja. GKJW Tunglur juga mencatat sejarah yang sama, memiliki SD YBPK. Namun sejarah mencatatkan sesuatu yang agaknya kurang menyenangkan pada masa tahun 1980-1990an. Pada masa kemerdekaan ketika di Indonesia belum banyak lembaga pendidikan, YBPK menjadi primadona. YBPK terbuka bagi siapa pun yang ingin mengenyam pendidikan.
Murid sekolah-sekolah YBPK berjumlah sangat besar. Hal ini di satu sisi membawa rasa tenteram, menunjukkan bahwa pendidikan berlatar belakang Kristiani diterima oleh masyarakat umum. Namun nampaknya seperti banyak organisasi lain yang kadang kurang aware pada perkembangan yang sedang terjadi, hal tersebut membuat agak terlena. Pengelolaan sekolah menjadi agak close minded. Tidak disadari bahwa pada waktu itu sejak tahun 1973/1974 pemerintah mempunyai program Sekolah Inpres. Sekolah itu lantas tumbuh di setiap penjuru nusantara.
Pada masa awal berdirinya sekolah Inpres, sekolah-sekolah YBPK masih menjadi idola. Namun hanya butuh waktu sekitar 10 tahun untuk membalik keadaan. Bersama dengan tumbuhnya sekolah Inpres yang didukung oleh pendanaan pemerintah, yang menjadikannya lebih murah dan tidak berlabelkan agama tertentu, sekolah YBPK tidak bisa bertahan di negara yang notabene mayoritas Islam. Sekolah dijalankan dengan rutin, dan visinya dikalahkan oleh prestise. Maka sekolah yang pernah berjaya tahun 1960aan-1980an tersebut tanpa sadar mulai kehilangan satu per satu muridnya.
Sekolah Inpres didukun oleh pemerintah, mulai dari pendanaan hingga penyediaan sistem, sedangkan sekolah YBPK berada di bawah lembaga GKJW tetapi tidak demikian dalam pendanaan dan pengawasan sistemnya. Maka pada tahun 1980an fenomena it mulai terjadi, satu per satu sekolah mulai tutup usia. Ditambah lagi sekolah-sekolah Islam mulai tumbuh di mana-mana. Mereka berjalan pelan, namun inovasi dan penanaman nilai Islam menjadi fokus. Sedangkan YBPK masih terkejut dengan keadaan tersebut. Jika saudara-saudara Islam memercayakan pendidikan anak-anak mereka pada Lembaga Pendidikan Islam, entah bagaimana pun kualitasnya, karena nilai utama yang mereka junjung adalah agama, tidak demikian dengan warga GKJW kebanyakan. Pendidikan menjadi terpenting, dan nilai Kekristenan tidak cukup menjadi dasar menyekolahkan anak.
Di tengah meluruhnya militansi yang demikian, YBPK pun terdampak. Sekolah-sekolah tutup dengan tidak berdaya. Maka lembaga kesaksian iman itu seperti melambaikan tangan dengan pedih. Di sisi lain sekolah-sekolah Islam semakin bertumbuh, dari pendidikan dasar, berkembang hingga pendidikan tinggi. Sedangkan pendidikan Kristen dianggap miskin kualitas, Kekristenan tidak cukup menjadi daya untuk bertahan militan.
Tahun 2000 sebenarnya menjadi titik balik kesadaran YBPK. Yayasan mulai dikerjakan dengan lebih serius dari sebelumnya, namun trauma atas dua dekade masa kelam itu nampaknya masih belum cukup menyadarkan keberadaan dirinya dan hubungannya dengan gereja. Banyak yang lantas beranggapan sekolah-sekolah YBPK tidak berkualitas. Tidak semuanya tapi sebagian besar. Dan sayangnya pada tahun 2000 ketika kesadaran itu mulai tumbuh SD YBPK Tunglur sudah harus melambaikan tangannya pada para siswanya yang terakhir. Tutup.
Menebus dosa masa lalu dan upaya untuk melihat kesaksian ke depan dengan lebih sungguh-sungguh serta upaya untuk menjaga aset milik gereja membuat KPK dan KPPL GKWJ Jemaat Tunglur mengadakan pertemuan dengan YBPK Pare. Saat ini, sejak November 2009 tanah bekas Gedung YBPK Tunglur telah disewakan kepada pihak luar, dan nanti pada tahun 2019 tanah tersebut akan kembali lagi. Maka pada saat ini upaya untuk membicarakan berbagai kemungkinan mengembalikan tanah bekas sekolah tersebut pada fungsi aslinya mulai dibicarakan. Waktu 2 tahun hingga saat kembalinya tanah tersebut mungkin waktu yang pendek, namun ini memunculkan (kesiagaan) awareness atas masa yang akan datang.
Pembicaraan yang diadakan antara 6 orang tersebut, perwakilan Jemaat Tunglur: Pdt. Gideon, Bp. Sabar Imanuel (KPPL), dan Bp. Djoko Wahyudianto (KPK) dengan perwakilan dari YBPK Pare: Ibu Hartatik (Ketua Yayasan), Bp. Marwoko (Kepala Sekolah), dan Bendahara Yayasan tersebut masih merupakan pembicaraan awal. Setidaknya dengan pembicaraan tersebut, kedua pihak yang sama-sama melihat hal ini sebagai perkara penting dan perlu disikapi dengan cepat namun juga bijak. Pembicaraan yang hangat tersebut membuahkan harapan baru.
Tanah bekas gedung YBPK tersebut rencana sebagian akan digunakan sebagai Balai Pamitran dan pusat unit usaha jemaat. Sebagian lain diharapkan bisa digunakan untuk menjadi bagian kerja sama GKJW Tunglur dan GKJW Pare terkait pendidikan. Beberapa kemungkinan yang sempat dibicarakan adalah penggunaannya untuk pembukaan jurusan baru, atau tempat Pendidikan Paket, Sanggar, lembaga kursus, dan sejenisnya. Tetapi kiedua pihak memiliki komitmen untuk memikirkan perihal ini dan membicarakan lebih jauh dalam waktu-waktu berikutnya. Semoga niat baik ini berbuah kebaikan juga. Tidak menunggu prahara datang, tetapi sebelum terjadi, segalanya patut dipersiapkan, lebih-lebih karena pendidikan adalah wahana kesaksian yang melekat di GKJW.
COMMENTS