Salah satu tantangan terbesar gereja di masa depan adalah perjumpaan dengan yang lain. Dan saya hampir sangat yakin ini tidak main-main, karena ini perkara identitas (pertanyaan paling mendasar: siapakah aku? mengapa aku di sini?). Yang lain yang mana?
Sebenarnya perjumpaan dengan yang lain (liyan - demikian biasa dikatakan) adalah perihal yang sudah sangat diintimi gereja sejak masa mula-mula. Yahudi dengan Yunani adalah perjumpaan tak terelakkan pertama kali. Dan gesekan yang terjadi antara mereka yang disebut kelompok Petrus dan kelompok Paulus tidak bisa diabaikan. Konsili Nicea adalah perkembangan selanjutnya. Dan tidak bisa tidak, walaupun tidak melahirkan peperangan terbuka, namun Konsili Nicea telah melahirkan sebuah kelompok korban dan pemenang. Berikutnya adalah perjumpaan Kristen dan Islam hingga menimbulkan pertempuran berdarah, perang salib. Jika boleh dilihat saksama, maka perjumpaan dengan yang lain itu berskala semakin besar dan menimbulkan korban yang semakin besar pula.
Perjumpaan dengan yang lain pada masa kedua dan ketiga di atas terjadi dalam kerangka yang sampai tahap tertentu 'menguntungkan' gereja. Gereja tinggal dalam masa-masa keemasannya. Otoritas gereja masih sedemikian besar. Dugaan saya, akan ada perjumpaan lagi dengan yang lain, dalam kerangka yang lebih masif, dan kondisinya berbalik sekarang, gereja tidak lagi mengalami masa keemasan. Dalam sebuah sistem bersama internasional, gereja (hanyalah) salah satu dari sekian entitas penjaga otoritas kebenaran. Kekuatan lain telah tumbuh sedemikian besar. Maka sekalipun secara kuantitatif penduduk Kristen di dunia tercatat masih hampir sepertiga dari bumi (2,2 milyar dari 7,2 milyar penduduk bumi) namun tidak demikian secara kulitatif. Maka secara strategis, posisi gereja tidak lagi sekuat sebelumnya.
Masa keemasan gereja telah meninabobokkan masyarakan Kristen dengan utopia kemenangan dan kebesaran. Istilah-istilah seperti anak raja, anak Allah, Kristus sang alfa dan omega melanggengkan utopia itu. Sehingga tidak disadari utopia itu lantas berkembang menjadi imaji. Setidaknya di Indonesia, program-program gereja yang menjembatani perjumpaan dengan yang lain masih sangat kecil dibandingkan dengan urusan domestik.
Hal di atas membawa paradigma bergereja cenderung berpusat ke dalam: kebaktian, organisasi, paduan suara, pelayanan (gerejawi), persekutuan raya, KKR, dan sejenisnya. Penginjilan yang dahulu menjadi primadona dalam perjumpaan dengan yang lain, sekarang tinggal kenangan, atau jika tidak menjadi upaya untuk membawa orang pindah denominasi gereja sampai menjadi upaya ekumene yang tidak beretika. Jika jujur, sebut saja di GKJW, fungsi gereja yang paling berbicara adalah persekutuan (anak hingga lansia),kegiatan di sana sangat ramai. Saya belum bisa mengukur apakah ini sebenarnya entertainment atau memang usaha bersekutu yang transformatif. Saya ingat pembicaraan dengan Pak Armien Langi, Rektor Maranatha beberapa saat yang lalu, "Kalau kita membeasiswai mahasiswa yang miskin dan sesudah itu ternyata tetap miskin dan tidak berbuat apa-apa selain menuntut haknya, sebenarnya beasiswa yang kita berikan kan sia-sia." Beasiswa dan bantuan entertain. Semoga persekutuan kita tidak sedang ke sana.
Namun lebih pelik, ketika giliran berbicara pelayanan (pemberdayaan) dan kesaksian, apalagi hubungan antar umat dan terutama riset tiba-tiba menjadi gagap. Dulu sekolah dan rumah sakit gereja menjadi idaman masyarakat, tetapi sekarang bisa dilihat sekolah dan rumah sakit umum bahkan yang berlabel dari yang lain tiba-tiba menjadi jauh lebih berdaya. Sekolah dan Universitas Kristen yang akhirnya bisa hidup adalah yang menyasar kelas menengah atas (Petra, BPK Penabur, UK Maranatha, UKDW, UKSW). Tidak bisa dihindari bahasa pasar telah menjadi bahasa komunikasi yang paling universal. Dampaknya adalah kelompok Kristen yang dilayani oleh sekolah dan universitas itu adalah yang mereka telah berstatus ekonomi memadai atau yang telah merasa berkepentingan. Pada kelompok terbesar yang adalah akar rumput, kesadaran lebih dibangun oleh citra yang tidak berangkat dari tradisi gerejawi (jika dianggap tradisi gerejawi adalah yang luhur mulia).
Rasanya dalam beberapa tahun ke depan (mungkin 40an tahun sampai cadangan energi kita dari minyak benar-benar tipis atau habis disertai dengan kerusakan lingkungan yang hebat), teknologi masih akan terus berkembang, khususnya komunikasi, informasi, dan robotik. Pasar masih akan menjadi lahan basah untuk segalanya, apalagi dengan adanya globalisasi dan internet). Ilmu pengetahuan telah berkembang dengan begitu cepat, namun pada saat yang sama begitu rakus sumber daya. Hal ini menjadi sangat berdampak terhadap hubungan antar manusia. Untuk negara dunia ketiga seperti Indonesia, kebanggaan yang dibangun oleh citra-citra mereka yang besar tidak terelakkan: luar negeri, naik pesawat, kaya dan berpengaruh, bermassa besar, selebritas. Padahal pada saat yang sama kemiskinan masih menjadi perkara besar di Indonesia. Korupsi adalah dampak sekaligus penyebab dari itu. Tenaga kerja Indonesia sangat murah, menyebabkan/ disebabkan kinerjanya yang apa adanya. Pendidikan tinggi masih milik kelompok tertentu. Layanan sosial masyarakat seperti kesehatan, transportasi, hingga ruang publik menjadi sedemikian mahal. Pak Fajar Wicaksana dalam pembicaraannya mengatakan sesuatu yang sedemikian rupa menyentuh saya, “Dua hal yang masih sedemikian sulit kutembus di jemaatku sekarang adalah Kemiskinan dan Kebodohan.”
Perubahan demikian sudah terjadi dan merasuk sedemikian rupa dalam kehidupan bergereja. Namun karena masuknya sedemikian kultural, hingga tidak dirasakan dan dianggap hal yang wajar. Dampaknya yang muncul jika tidak menjadi megaloman utopis yang mengingkari kenyataan, maka lantas menjadi sangat mudah beromantis dengan (imaji atas) masa lalu. Saya sendiri merasa begitu tersentak dengan Road Service GKJW yang terjadi di Banyuwangi yang mempertemukan saya dengan rekan-rekan pemuda di Banyuwangi. Mereka kebanyakan masih SMA, dan tradisi telah mengajarkan mereka untuk menjadi begitu pendiam, penurut, tidak banyak berkomentar, dan entahlah pada saat yang sama terlihat tidak percaya diri dan takut-takut. Apakah hal membuat kita seringkali merasa menjadi sedemikian inferior? Mereka adalah pendengar yang baik, namun juga pengikut yang baik. Saya mungkin tidak khawatir jika konteks kita sehat, tapi jika yang kita jumpai justru adalah peluruhan nilai Kristen digantikan yang lain, lantas kita masih nyaman disenangkan dengan permainan gadget dan ilusi sosial, lalu bagaimana? Belum lagi perjumpaan kita dengan tradisi kekerasan yang didukung oleh politik yang menjadikannya menjadi susah dikenali dan dikendalikan.
Saya rasa ada perjumpaan yang tidak terelakkan yang sedang terjadi. Antara gereja di mana kita tinggal dan hidup dengan yang lain. Saya tidak tahu harus menyebut yang lain ini apa, tapi dampaknya bisa mulai dilihat dengan sangat jelas dari fenomena-fenomena sosial yang terjadi. Saya hanya bisa merasakan impuls-impulsnya, seperti gelenyar yang terasa begitu kuat belakangan. Mungkin teman-teman pun merasakannya bahkan telah menemukan resepnya, bisa jadi saya terlambat. Tapi saya merasa yang lain ini begitu kuat, dan kali ini yang ditantang adalah identitas Kekristenan.
Jalan kekerasan seperti Perang Salib jelas bukan cara kita berhadapan dengan yang lain itu. Hanya akan menjadi kontra produktif. Keputusan-keputusan dibuat di tengah kepanikan. Saya masih yakin manusia itu adaptif, perubahan pasti akan membuat kita memiliki kewaspadaan tertentu, namun jika ‘yang jahat’ itu datang tidak disadari lalu bagaimana? Kalau ‘yang jahat’ itu masuk lewat pintu belakang dan mengatakan bahwa dirinya adalah saudara tua dan siap menenangkan kita dan mengangkat masalah-masalah yang kita hadapi, namun pada saat yang sama terlena, lalu bagaimana? Saya tidak tahu saya hanya bisa bertanya.
Kegiatan bergereja kita sudah sangat baik. Tradisi telah tercipta dan diikuti. Yang seringkali kurang disadari adalah evaluasi, mapping dan positioning, dan penemuan tujuan tertentu dalam kerangka waktu yang tertentu. PRKP dan PPJP di GKJW telah meletakkan itu. Namun jika konteks keberadaan kita tidak disadari, bisa-bisa sekali lagi kita mengulang cerita yang sama: yang semestinya dilakukan karena sadar ternyata dilakukan karena harus.
Krisis kepercayaan (diri dan sesama, bahkan kepada Tuhan) sudah menjadi begitu kuat belakangan. Saya yakin bahwa yang lain itu masih sama-sama manusia. Maka kekuatan kepercayaan bersama pasti masih menjadi caranya. Memang untuk itu perlu jalan pengenalan yang panjang, tapi rasanya budaya Indonesia (setidaknya yang saya kenal: Jawa) menyediakan ruang untuk itu jika mau. Harapan saya sederhana yang lain itu tidak lalu datang dan menjadi seperti penjajah yang mengadu domba, tetapi disadari bersama. Walaupun saya toh tidak tahu harus menyebutnya dengan apa. Pendidikan jelas langkah awal, tapi bukan pendidikan yang menciptakan mereka yang duduk tenang dan takut dimarahi. Atau entahlah, ini kegelisahan yang bahkan tidak bisa saya tuliskan dengan cukup baik. Yang saya tahu, tidak ada jalan pintas ke sana. Semuanya seharusnya bertahap dan terstruktur dengan melibatkan semuanya (termasuk yang lain itu) dan manajemen risiko yang memadai.
Pdt. Gide Buono
COMMENTS