"…BERIKANLAH KAMI PADA HARI INI MAKANAN KAMI YANG SECUKUPNYA…"
Ada perubahan tone sejak kalimat ini, permohonan. Namun ada yang tidak berubah, nuansa komunal, kami. Doa Bapa Kami memang tidak pernah sekadar doa personal, tetapi senantiasa doa komunal.
Pernyataan “berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya” langsung membunyikan bel peristiwa pembentukan identitas Israel dalam eksodus padang gurun, terkhusus peristiwa manna. Mereka yang mengambil lebih akan mendapatkan mana itu busuk dan berulat keesokan harinya. Takaran yang diberikan oleh Yang Ilahi itu selalu ukuran yang pas, tidak pernah kurang, tidak pernah lebih. Pas itu yang paling tepat, sebuah mur dan baut tidak akan bisa saling berikatan jika lebih besar atau lebih kecil. Namun pas ini pun alih-alih yang penting aku pas, tetapi pas yang pas adalah pas bersama-sama, seolah dibawa meloncat pada “Maka hendaklah sekarang ini kelebihan kamu mencukupkan kekurangan mereka, agar kelebihan mereka kemudian mencukupkan kekurangan kamu, supaya ada keseimbangan.” Keseimbangan adalah prinsip semesta yang dijaga, bahkan dalam doa. Bahkan dalam doa permohonan pun, suasana diakonia tidak pernah lenyap. Maka safaat pertama yang diajarkan Yesus, tidak lain adalah Doa Bapa Kami.
Doa ini kemudian ditindaklanjuti dalam berbagai macam perintah simpatik, “Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.” Ada perumpamaan tentang burung di langit hingga bunga bakung di padang yang didandani oleh Bapa di Sorga di sana. Sebuah perbandingan antara orang yang tidak mengenal Allah dengan orang percaya. Orang percaya tidak khawatir dengan ketercukupan material dalam hidupnya. Maka jika setelah doa ini muncul perbandingan antara mamon dengan Allah, sangat masuk akal. Pengajaran dalam Matius 6 disambung dengan mujizat-mujizat, salah satu yang paling fenomenal adalah pemberian makan bersama pada 5000 orang. Ketika para murid menyuruh orang memberi makan, Yesus justru berkata keras bahwa merekalah yang harus memberi makan. Dan entah bagaimana lima roti dan dua ikan itu cukup bahkan berlebih. Seolah-olah hendak dikatakan bahwa lima roti dan dua ikan yang disyukuri dan dimohonkan pada Bapa akan mampu mencukupkan bilangan yang terlalu besar. Maka kekhawatiran adalah ketidakperluan. Dan bersama dengan Tuhan, “Makan gak makan yang penting kumpul” itu masuk akal. Kekhawatiranlah kemustahilan dalam iman.

Pada hari ini budaya pro kematian seperti ketidakadilan, hubungan transaksional antar sesama ciptaan, spektakulerisme dan kisah kemasan merajalela di mana-mana. Freeport dengan Suku Amungme, Perusahaan Sawit di Sumatera, Lapindo dan masyarakat Sidoarjo, hingga penyalahgunaan kewenangan hukum dalam kasus-kasus kemanusiaan yang menyamaratakan prinsip keadilan, seolah hukum adil adalah eksak ketimbang sosial, para korban yang tidak tahu apa-apa disalahkan, tanpa melihat bagaimana budaya pendidikan dan budaya sistem kelas yang tercipta di masyarakat begitu mewarnai kehidupan Indonesia. Anak alay menjadi bulan-bulanan tanpa melihat kelompok selebritis yang memaksa mereka yang alay untuk mengimitasi gaya hidup mereka. Hukuman mati, pelecehan seksual, peminggiran LGBT, human trafficking, terlampau banyak. Berbicara tentang ini, maka berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya adalah pernyataan yang tidak bisa dihindarkan, sebuah upaya untuk berbicara atas nama – bukan gayah-gayahan, gagah-gagahan – keadilan sosial. Sensibilitas.
Di sinilah menjadi penting peran mereka yang ikut berdoa Bapa Kami dengan khusus. Mereka bukan dipanggil sekadar untuk mengurus kehidupan sendiri, tetapi kehidupan bersama. Karena itulah makanan adalah perihal sebelum yang lain-lain. Karena apa pun berangkat dari urusan makan. Urusan hidup, hidup yang bersama. Berdoa Bapa Kami dan absen pada perihal itu adalah absen pada kehidupan. Selamat berdoa, selamat hidup.
COMMENTS