"... DAN KEMULIAAN [SAMPAI SELAMA-LAMANYA]..."
(Bagian 1)
Tuhan itu mulia, sejak semula mulia dan akan tetap mulia. Namun kemuliaan yang bagaimana, betapa kemuliaan ini menjadi kata yang jika jujur sangat sulit untuk dipahami. Dalam bahasa Yunani kemuliaan (δόξα - doxa) memang bukan kata yang mudah digambarkan. Kata itu berhubungan dengan kata לוּל (lul) dalam Bahasa Ibrani yang juga berarti kemuliaan. Namun sebenarnya makna kata tersebut berkaitan dengan terang yang luar biasa yang membias dari kehadiran Tuhan ketika Tuhan menunjukkan kuasaNya. Kata tersebut selalu dalam konotasi upaya untuk menunjukkan Tuhan (karya, pribadi, firman) yang berada di atas yang biasa. Jika demikian maka nampaknya agak menjadi jelas bahwa kemuliaan ini berhubngan dengan Tuhan yang luar biasa yang nampak oleh manusia.
Berangkat dari sana, kita kemudian tahu, bahwa Tuhan itu memang misteri. Dan justru karena misteri itu lah maka Tuhan menjadi mulia. Jika pun kita bisa melihat Tuhan, yang kita lihat bukan pada Tuhan tapi pada bias cahayanya, pada jejak yang muncul dari kehadirannya. Kita tidak mungkin mengenal Tuhan dengan utuh, namun kita bisa tahu jejaknya.
Beberapa tahun yang lalu saya tinggal di Malang selatan, di daerah Tempurejo. Suatu ketika saya harus melakukan perjalanan bermotor ke Pujiharjo. Pulang dari Pujiharjo ke Tempurejo, hujan sangat deras. Jika sudah demikian biasanya jalanan bisa longsor dan banjir (jalanan di sana sendiri sudah sangat berliku-liku). Dalam perjalanan pulang tersebut, saya tidak tahu apakah tempat yang akan saya lalui banjir atau longsor bukan dari melihatnya langsung, tetapi dari kendaraan yang satu dua lewat dari arah yang berlawanan. Jika ada kendaraan yang bisa lewat dari arah berlawanan, berarti jalanan aman. Dengan demikian saya bisa meneruskan perjalanan. Hal yang sama seperti ketika saya lewat di Jalan Gajah Mada, Pare. Jalan itu selalu banjir jika hujan, maka jika saya lewat di jalan itu dan sedang banjir, maka tanpa melihat hujannya, saya tahu bahwa baru saja hujan di sana.
Maka untuk melihat kemuliaan Tuhan, ada sebuah ilmu yang menjadi penting: ilmu titen. Saya tidak tahu Bahasa Indonesia dari kata ini, tetapi artinya kurang lebih: berhubungan dengan mengingat pola. Karena dalam titen selalu ada pola berulang yang terus menerus terjadi. Dengan titen kita memaknai hidup, tanpanya hidup hanya berlalu begitu saja sebagai tumpukan peristiwa.
Maka kita kemudian menjadi tahu berbicara kemuliaan Tuhan bisa dilakukan dengan melihat langit dan terpesona olehnya, lalu mendecakkan, "KemuliaanMu Tuhan!" Melihat pantai, gunung, dan manusia yang hidup berdamai. Dan kita tersenyum. Namun sangat mudah menjadi silau oleh itu, dan menganggap bahwa kemuliaan selalu berhubungan dengan sesuatu yang akbar. Seperti Elia berlari dari Izebel yang mendendamnya karena peristiwa nabi-nabi Baal, dia yang berjumpa dengan Tuhan dalam angin sepoi yang lembut, justru bukan dengan angin besar, gempa dan api. Kadang kemuliaan Tuhan bukan nampak ketika dalam kemuliaan, tetapi justru dalam ketidakmuliaan.
Saya percaya Yesus, saya percaya bahwa Dia juru selamat. Maka jangan tanyakan betapa bodohnya saya yang percaya pada sorga, karena saya percaya. Bagi saya itu kemungkinan satu-satunya bagi harapan di tengah ketidakberdayaan dan ketidakadilan. Sekaligus berupaya untuk menghadirkan keadilan dan kasih. Proses menuju kepercayaan ini panjang, entah saya percaya atau memilih percaya, namun itu nyatanya. Dan peristiwa paling tidak mulia dari Yesus tergambar dalam masa menjelang akhir hidupnya sebagai manusia, peristiwa sejak Getsemani hingga kematianNya.
Ini adalah peristiwa paling memalukan. Tidak mungkinkah untuk seorang Tuhan, dia menyajikan kesempurnaan? Maka tiga hal ini mungkin bisa menjadi cerita yang cukup untuk menunjukkan betapa tidak mulianya Tuhan.
Yudas. Yudas menunjukkan bahwa sehebat apa pun pengajaran Yesus, nyatanya seorang murid akhirnya ingkar. Bagaimana bisa sempurna ketika tidak utuh dua belas? Bagaimana mungkin mengatakan dia istimewa jika dia gagal? Bagaimana mungkin mengatakan Tuhan Maha Kuasa, jika Tuhan bahkan tidak bisa menyentuh hati seorang murid yang bahkan dipercayainya memegang keuangan? Dalam Perjanjian Lama, kemuliaan Tuhan atas hati seseorang bisa lebih konsisten. Ketika Firaun menolak permintaan Musa untuk membawa Israel keluar dari Mesir, itu karena Tuhan mengeraskan hati Firaun. Mengapa para penulis Injil tidak mengatakan saja Tuhan membuat hati Yudas khianat, sehingga otoritas tetap di tangan Tuhan. Mengapa tiba-tiba saja Yudas menjadi demikian, justru nampak di luar kuasa Yesus, jika dia adalah Tuhan. Maka mana mungkin dia Tuhan? Jika ditarik lebih jauh ini bisa diarahkan pada orang-orang yang membenci dan menghakimi Yesus.
Doa Getsemani. Ini adalah momen paling manusiawi seorang Yesus. Maka sekaligus bisa dibaca sebagai momen paling tidak ilahi. Mengapa ini harus dituliskan?
"Allahku, Allahku mengapa Engkau meninggalkan Aku?" Ini adalah ucapan salib yang paling kontroversial. Selama ini kita menemukan kalimat-kaliman seperti "Aku dan Bapa adalah satu" dan sejenisnya. Ucapan salib ini justru menunjukkan ada suatu waktu ketika Yesus dan Tuhan terpisah. Tuhan meninggalkan Dia dalam penderitaan. Yesus tidak bersatu lagi dengan Tuhan.
Melihat mujizat kita akan terpukau dengan kemuliaan. Melihat ajaran kita akan terpukau dengan kemuliaan. Melihat kasih Yesus kepada mereka yang terbuang dari komunitas, kita melihat kemuliaan. Melihat nubuatNya kita melihat kemuliaan. Namun justru ketidakmuliaan itulah yang justru menjadikan dia Juru Selamat. Tentu saja peristiwa Paskah akhirnya menjadi akhir yang memukau, namun mengapa harus ada peristiwa memalukan itu dalam jalan mulia itu?
(bersambung)
COMMENTS