Kebaktian di GKJW Jemaat Tunglur (2015) |
Para pengikut Coolen diusir dari Ngoro karena mereka dibaptiskan oleh para pendeta dari Gereja Protestan Surabaya. Sang guru ngelmu Kristen yang dulu mengajarkan Kekristenan sebagai ilmu yang lebih tinggi dari segala ilmu itu nampaknya keberatan para pengikutnya mengkuti tradisi seperti orang Belanda. Akhirnya para pengikutnya menyusuri aliran Kali Gua (Ngguwo) dan menemukan sebuah hutan angker, sekitar 6 km dari Ngoro. Hutan tersebut bernama Alas Krucil. Hutan yang ditakuti oleh semua orang, karena menurut hikayat hutan tersebut adalah alas gung lewang-lewung, jalma mara jalma mati (hutan belantara, siapa yang masuk ke sana akan mati). Namun dengan bekal elmu Kristen yang telah diterima dari mantan gurunya dan baptisan yang mereka terima, mereka memilih untuk berani memasuki hutan itu. Rapalan yang mereka pegang sebagai ajian mantra adalah Sahadat Kalih Welas (Pengakuan Iman Rasuli dalam Bahasa Jawa) dan Donga Rama Kawula (Doa Bapa Kami).
Hutan tersebut berhasil dibuka dan dijadikan pedesaan dan persawahan baru. Mereka dipimpin oleh guru agama bernama Paulus Tosari dan bau aris (kepala desa) bernama Karolus Wiryaguna. Tahun 1847 tempat itu tumbuh pesat, karena semangat mardhika para penduduknya. Daerah baru tersebut dinamakan Mojowarno.
Demikianlah Mojowarno semakin tumbuh dan meluas ke desa-desa sekitarnya, sehingga semakin hari semakin terasa betapa kurangnya tenaga pemimpin agama di daerah Kristen baru. Mojowarno tersebut. Maka, Pendeta Jellesma dengan anjuran dari Pendeta L.J. Van Rhiyu (pemimpin NZG= Nederlanche Zendeling Genotschap) supaya menetap di Mojowarno, Juli 1851. Badan Zending (NZG) ini bukan utusan gereja, tetapi anggotanya berasal dari Gereja Hervormd Belanda dari berbagai aliran. Tujuannya untuk menghimpun dan membina jemaat atau kelompok-kelompok Kristen yang terus berkembang dan meluas itu perlu diatur dan diorganisasi supaya pembinaan kekristenan dapat diselenggarakan dan pekabaran Injil terus berjalan.
Pada paruhan kedua tahun 1980an, semakin dirasakan padatnya Desa Mojowarno. Di samping didorong semangat menyebarkan elmu Kristen yang begitu menggebu-gebu akhirnya para penduduk Mojowarno keluar daerah berpindah membuka hutan-hutan di sekitarnya.
Pada tahun 1880 beberapa penduduk Desa Mojowarno, yaitu Lasmo Karoles (bersama istri) menuju ke daerah Barat Daya. Tetapi tidak sendirian, dia mengajak rekannya keluarga Seradi yang beragama Islam, menbuka sebuah daerah hutan wingit yang lain. Hutan tersebut dibuka dan dijadikan sebuah pedusunan. Dusun yang dibuka menjadi lahan baru tersebut dinamakan Wungurejo, karena banyak pohon wungu di daerah ini. Kelompok Lasmo Karoles dan Seradi lantas membagi tanah tersebut, tanah di sebelah Timur sungai untuk keluarga Lasmo Karoles yang beragama Kristen dan tanah di sebelah Barat sungai untuk keluarga Seradi yang beragama Islam. Ini menarik, karena nampak sejak awal berdirinya desa yang nanti akan bernama Tunglur tersebut, kerukunan dan penerimaan keberagaman antar umat beragama sudah lahir sejak awal.
Gedung GKJW Tunglur tahun 2011 |
Walaupun sudah menjadi sebuah pedusunan, Wungurejo pada tahun tersebut masih berupa hutan lebat yang dipenuhi pohon kayu besar yang menakutkan. Namun ada yang menarik, terdapat sebuah pohoh sambi besar dan rindang daunnya yang berada di tengah dusun, yang di bawahnya selalu tampak bersih (resik) seperti disapu orang. Orang-orang menganggap ini sebagai petanda alam yang baik, bahwa semesta memberikan restu kedatangan mereka membuka hutan di situ. Maka atas hal tersebut, Lasmo Karoles dan Seradi mengubah nama daerah tersebut dari Wungurejo menjadi Sambiresik, yang artinya adalah pohon sambi yang resik tidak ada selembar daun pun di bawahnya. Bersama-sama dengan
Terkait, Lasmo Karoles, sebenarnya namanya hanyalah Karoles, tetapi karena memiliki anak bernama Lasmo maka sesuai tradisi Jawa dia dipanggil Mbah Lasmo Karoles. Selain Lasmo, Karoles juga mempunya anak lain bernama Roben dan Yatmi. Roben ini nanti menjadi kamuwita (Kepala Dusun) Sambiresik menggantikan bapaknya. Roben memiliki anak bernama Nutriya yang natninya diangkat menjadi Pendeta Angkata dari purna militer. Salah satu peran besar Pdt. Nutriya adalah pelayanannya di Bali, menjadikan beliau salah satu pendeta GKJW yang ditugaskan untuk melayani di GKPB (Gereja Kristen Protestan Bali). Sedangkan Yatmi memiliki anak bernama Sumareh. Sumareh memiliki tiga orang anak perempuan Titik, Anti, dan Naning.
Ketika dusun tersebut mulai bertumbuh, datanglah pendatang lain dari kelompok Kristen Purworejo (Wates) bernama Kariman. Bersama dengan Kariman Karoles mendirikan tempat kebaktian Kristen di Sambiresik pada tanggal 25 Januari 1889. Pada awalnya Karoles sendiri yang mengajar orang-orang tersebut. Inilah cikal bakal GKJW Tunglur. Mereka membangun tempat ibadah (gedung gereja) di tengah-tengah Dusun Sambiresik yang letaknya sekarang di pekarangan pekarangan milik Jemaat Tunglur. Bangunan gedung gereja pada saat itu masih terbuat dari bambu dan kayu. Salah seorang Guru Injil lantas dikirimkan untuk supaya mengajar Kekristenan dengan lebih baik, Soepardam Efrayim. Nampaknya beliau adalah murid dari Poensen, pendeta yang terkenal gemilang di Kediri. Keluarga Soepardam Efrayim juga akhirnya bertumbuh di daerah Sambiresik dan menempati daerah tersebut.
Dari sisi keluarga Kariman, Kariman mempunyai anak bernama Rakidin. Rakidin mempunyai anak bernama Purtomo Liswari. Purtomo Liswari mempunyai beberapa anak yang pada saatnya menjadi anggota Majelis GKJW Tunglur di antaranya bernama Tjipto Harsono Liswari, Suroso Lieswari, Mulyodo Liswari, dan Sundari Lieswari. Sedangkan anak Purtomo Lieswari yang lain adalah Tresmiari dan Suprihatin.
Sedangkan, Seradi yang beragama Islam dari suku Madura dan punya anak bernama Ningah. Ningah punya anak bernama Pak Yoeli Lomo. Pak Yoeli Lomo punya anak bernama Eliarjo. Beberapa keturunan Seradi pada akhirnya juga masuk Kristen. Mereka bergabung di gereja tersebut, sedangkan keluarga Seradi yang lain, yang tetap beragama Islam, mengembangkan daerah Barat sungai bersama dengan pendatang Islam yang lain.
Seiring dengan perkembangan zaman, diadakan penataan Wilayah Karesidenan Kediri, maka berdasarkan letak geografis maka Dusun Sambiresik dimasukkan wilayah bawahan pemerintahan Desa Tunglur yang letaknya dekat jalur transportasi utama (jalan raya jalur bus Pare – Jombang). Nama Desa Tunglur disepakati untuk menamakan kelompok orang Kristen di Dusun Sambiresik menjadi kelompok Kristen Jawi Wetan Tunglur (sekarang GKJW Tunglur).
Dari kelompok Kristen di Tunglur ini beberapa berpindah ke Pare yang pada waktu itu merupakan sebuah kota kecamatan yang ramai. Karena banyak pendatang yang belum memiliki gereja, maka di daerah Pare didirikanlah pepanthan dari Jemaat Kristen yang ada di Tunglur. Keberadaan Pare yang merupakan kota kecamatan memungkinnya untuk bertumbuh lebih pesat. Maka pepanthan Pare pun didewasakan menjadi jemaat Pare.
Ditinggalkan Pare, maka wilayah pelayanan GKJW Tunglur hanya meliputi lingkup Desa Tunglur, Sidowarek, dan Badas. Maka sejak 1970, bersama dengan suasana politik yang memanas karena Peristiwa G30S/PKI, banyak warga Jemaat Tunglur yang akhirnya memilih pindah keyakinan. Sehingga jumlah keluarga yang tetap setia dalam iman Kekristenan menjadi beberapa keluarga saja. Ini menyebabkan pendanaan jemaat menjadi terhambat, karenanya sejak terakhir dilayani oleh Pdt. Yustus Garit, GKJW Tunglur tidak dapat memberikan jaminan penghidupan bagi pendeta. Hingga terakhir pada tahun 2011 jumlah jemaat Tunglur tinggal 27 KK. Beberapa warga pindah ke gereja lain atau keluar dari iman Kristen.
Gedung GKJW Tunglur hari ini. |
Selama 41 tahun tersebut, jemaat Tunglur tidak mendapatkan pendeta baku, baru pada 7 Agustus 2011, jemaat Tunglur mendapatkan Pendeta Baku yang lain, Pdt. Gideon Hendro Buono. Pada masa awal pelayanan pendeta baru tersebut jemaat Tunglur termasuk jemaat yang disubsidi oleh Majelis Agung GKJW. Jaminan penghidupan pendeta ditanggung oleh MA GKJW, sedangkan Cinta Kasih diberikan oleh jemaat. Tetapi tahun-tahun berikutnya GKJW Jemaat Tunglur terus bertumbuh, tahun 2014 GKJW Jemaat Tunglur menyatakan kemandiriannya, tidak lagi ditanggung oleh Majelis Agung, tetapi semua kegiatan jemaat dibiayai dari biaya sendiri.
Berikut adalah nama-nama Guru Injil dan Pendeta yang pernah melayani di GKJW Jemaat Tunglur:
(1) GI Supardam Efrayim (alm);
(2) Pendeta Sanyoto (alm);
(3) GI Maroyo (alm);
(4) Pendeta Prasojo (alm);
(5) Pendeta Hariyani Setja (alm);
(6) Pendeta Nutriyo (alm);
(7) Pendeta Yustus Garit (alm);
(8) Pdt. Konsulen Giyarno Ragil;
(9) Pdt. Konsulen Sih Ageng Kromoniti;
(10) Pdt. Konsulen Suharto;
(11) Pdt. Konsulen Kastin;
(12) Pdt. Konsulen Sihardi;
(13) Pdt. Konsulen Sudjatmiko;
(14) Pdt. Djoni Sukohadi;
(15) Pdt. Konsulen Fajar Wicaksono
(16) Pdt. Gideon Hendro Buono
Sedangkan beberapa Vikar yang melayani GKJW Jemaat Tunglur adalah:
(1) Vik. (Pdt) Heru Cokro
(2) Vikar (Pdt) Eko Susilowati
Pdt. Gideon HB dan Bp. In Hari Purwanto (2015) |
Dan berikut beberapa nama Penatua Diaken yang melayani di GKJW Jemaat Tunglur yang sempat tercatat: 1) Bapak Kawignya Asariyo; (2) Bapak Purtomo L (alm); (3) Bapak Yoeli Loma (alm); (4) Bapak Kasnam (alm); (5) Bapak Prawito Adi Winoto (alm); (6) Ibu Permaningtyas Sewoko M (alm); (7) Ibu Sih Wilujeng (alm); (8) Bapak Suwardi Tjipto Harsono Liswari; (9) Bapak Mulyodo L (alm); (10) Bapak Suroso Liswari; (11) Bapak Wakidi; (12) Bapak Suwandi (alm); (13) Ibu Hari Cahyani (alm); (14) Bapak Sapto Adi (alm); (15) Bapak Sudarmo; (16) Ibu Sundari L; (17) Ibu Sukarni; (18) Ibu Indyah Swihani; (19) Sdri Sutartik; (20) Sdri Rini Suryani; (21) Ibu Esti Utami; (22) Bapak Nowo Diharjo; (23) Bapak Suhartono; (24) Bapak Djoko Wahyudianto; (25) Bapak Pujiantoro; (26) Bapak Sarju Kasim; (27) Bapak In Hari Purwanto; (28) Bapak Sabar Imanuel; (29) Bp. Tri Harso Darmawan; (19) Ibu Setyo Sayekti; (20) Ibu Latifatul Isyaroh; (21) Ibu Mujiatmi Astutik.
COMMENTS