"BAPA KAMI YANG ADA DI SORGA ..."
"Bapa kami" adalah sebutan yang langsung mengindikasikan jarak ketimbang kedekatan. Berabad-abad orang Kristen Indonesia menyebut doa ini sebagai doa yang bukan saja paling sempurna, tetapi juga paling akrab. Kenyataannya tidak, khususnya hari ini. Kata Bapa dalam tradisi Jawa dan Indonesia tidak menunkkan kelekatan pada orang tua dalam dalam kacamata egalitarianisme Barat. Kata Bapa bukan hanya diucapkan kepada orang tua, tetapi juga kepada para pria lain yang dianggap dihomati. Bapa guru, bapa resi, bapa pendhita, bapa majelis adalah beberapa contoh yang lebih menunjukkan penghargaan ketimbang kedekatan. Bahkan penyebutan Bapa dalam konotasi Jawa tidak seramah Bapak. Istilah itu lebih digunakan dalam konteks keraton, pendidikan, ketoprak, wayang yang menekankan hubungan berjenjang-jenjang dan bukan ala masyarakat kecil yang satu sama lain lebih rata dan serasa.
Belum lagi kata Bapa tidak diikuti dengan panggilan personal: Bapaku, tetapi bapa kami. Diksi ini sekali lagi menjauhkan. Kami mengindikasikan adanya lebih dari seorang, bisa jadi kerumunan orang yang sedang bersama-sama. Maka ketimbang doa personal, Doa Bapa Kami adalah doa komunal. Aku mencoba membedakan terjemahan Jawa dan Indonesia pada frase ini. Di Jawa frase ini diterjemahkan “Dhuh, Rama Kawula”. Kata kawula dalam bahasa Jawa memang memiliki range yang lebih luas ketimbang kami dalam Bahasa Indonesia, karena kata ini bisa berarti personal sekaligus komunal. Tapi penambaan interjeksi “Dhuh” mengubah suasana menjadi lebih hangat. Jelas sudah bahwa “Bapa Kami” dan “Dhuh, Rama kawula” sebenarnya mengandung konotasi lingkaran yang berbeda.
Maka sebenarnya terjemahan Bahasa Indonesia yang mengetengahkan seolah-olah kedekatan itu sebenarnya juga sekaligus ingin menekankan perbedaan antara Bapak/Ayah/Papa/ Papi/Deddy-ku dengan Bapa Kami. Bahwa Bapa yang ada di sana adalah memang untuk Allah yang tidak bisa serta merta disamakan dengan Bapak/Ayah/Papa/Papi/Deddy-ku. Sebutan itu adalah sebutan hormat kepada Allah dan bukan sebutan kedekatan kepada orang tua pria. Terjemahan Baru Bahasa Indonesia adalah sebuah terjemahan literer yang cerdas, karena menjauhkan dan mengesankan mendekatkan pada saat yang sama. Sensibilitas adalah kuncinya. Ini bukan masalah langue, tapi ini masalah parole. Ini masalah konteks ketimbang tekstual. Dan dalam konteks asline bisa jadi sebutan Bapa kami ini mendekatkan daripada menyebut Allah seperti biasanya, tapi itu adalah kedekatan yang tidak lebur, tapi kedekatan yang saling menjaga jarak.
Belum lagi jika ditambahkan “di sorga”. Sorga selalu dipisahkan dari bumi. Keberadaan sorga mengindikasikan adanya bumi, bukan karena kesatuan tetapi karena keterpisahan. Sorga adalah tempat yang maha sempurna. Bumi tak pernah menjadi seperti sorga karena bumi adalah kebalikan dari sorga. Sorga adalah kata bergender maskulin dan bumi bergender feminin. Doa yang tampaknya personal ini sejatinya memang adalah doa komunal untuk Allah yang dihormati bukan Allah yang dekat seperti yang selama ini dibayangkan.
COMMENTS